Persaudaraan Antara Kaum Muhajirin dengan Kaum Anshar
Terjalinnya Persaudaraan Antara Kaum Muhajirin dengan Kaum Anshar
Secara umum, Islam menyatakan seluruh kaum muslimin adalah bersaudara sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’alaa surat al-Hujurat/49 ayat 10, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” Konsekuensi dari persaudaraan itu, maka Islam mewajibkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong dalam al-haq. Namun yang menjadi fokus pembicaraan kita kali ini bukan persaudaraan yang bersifat umum ini, tetapi persaudaraan yang bersifat khusus antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang dideklarasikan Rasulullah ﷺ memiliki konsekuensi lebih khusus bila dibandingkan dengan persaudaraan yang bersifat umum.
Sebagaimana diketahui, saat kaum Muhajirin berhijrah ke Madinah tidak membawa seluruh harta. Sebagian besar harta mereka ditinggal di Makkah, padahal mereka akan menetap di Madinah. Ini jelas menjadi problem bagi mereka di tempat yang baru. Terlebih lagi, kondisi Madinah yang subur sangat berbeda dengan kondisi Makkah yang gersang. Keahlian mereka berdagang di Makkah berbeda dengan mayoritas penduduk Madinah yang bertani. Tak pelak, perbedaan kebiasaan ini menimbulkan permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik menyangkut ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan juga kesehatan. (As-Siratun-Nabawiyah ash-Shahihah, hlm. 241)
Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Sementara itu, pada saat yang sama harus mencari penghidupan, padahal kaum Muhajirin tidak memiliki modal. Demikian problem yang dihadapi kaum Muhajirin di daerah baru.
Melihat kondisi kaum Muhajirin, dengan landasan kekuatan persaudaraan, maka kaum Anshar tak membiarkan saudaranya dalam kesusahan. Kaum Anshar dengan pengorbanannya secara total dan sepenuh hati membantu mengentaskan kesusahan yang dihadapi kaum Muhajirin. Pengorbanan kaum Anshar yang mengagumkan ini diabadikan di dalam al-Qur’an, surat al-Hasyr/59 ayat 9, yang artinya: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”
Berkaitan dengan ayat di atas, terdapat sebuah kisah sangat masyhur yang melatarbelakangi turunnya ayat 9 surat al-Hasyr. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلَّا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَا فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَتْ مَا عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي فَقَالَ هَيِّئِي طَعَامَكِ وَأَصْبِحِي سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلَانِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ
“Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah ﷺ (dalam keadaan lapar), lalu beliau ﷺ mengirim utusan ke para istri beliau ﷺ. Para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali air.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshar berseru: “Saya,” lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata: “Muliakanlah tamu Rasulullah ﷺ!” istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan untuk anak-anak.” Orang Anshar itu berkata: “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah ﷺ, Beliau ﷺ bersabda: “Malam ini Allah tertawa atau ta’ajjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah ta’alaa menurunkan ayat-Nya, (yang artinya): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-Hasyr/59 ayat 9) (HR. Bukhari 3798)
Bagaimanapun pengorbanan dan keikhlasan kaum Anshar membantu saudaranya, namun permasalahan kaum Muhajirin ini tetap harus mendapatkan penyelesaian, agar mereka tidak merasa sebagai benalu bagi kaum Anshar. Di sinilah tampak nyata pandangan Rasulullah ﷺ yang cerdas dan bijaksana. Beliau ﷺ kemudian mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar.
Peristiwa ini, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat terjadi pada tahun pertama Hijriah. Tempat deklarasi persaudaraan ini -sebagian ulama mengatakan- di rumah Anas bin Malik (Ucapan ini disampaikan sendiri oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam al-Fath (10/41, no. 2294) dan Muslim (4/196/2529). Lihat as-Siratun-Nabawiyah fi Dhau`il Mashadiril-ashliyyah, hlm. 302), dan sebagian yang lain mengatakan di masjid (ucapan ini dibawakan oleh Abu Sa’id dalam Syaraful Musthafa sebagaimana juga disebutkan Ibnu Hajar dalam al-Fath (15/130). Dr. Akram Dhiya’ al-Umari mengatakan: “Nampaknya –wallahu a’lam- antara pendapat-pendapat ini tidak saling bertentangan. Karena persaudaraan itu tidak tuntas hanya dalam sekali pertemuan, namun tergantung dengan kedatangan orang yang baru (masuk) Islam dan yang baru tiba di Madinah. Riwayat yang terdapat dalam kitab shahih didahulukan dari yang lainnya. Teks hadis riwayat Muslim mengisyaratkan, awal deklarasi dilakukan di rumah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.” Lihat as-Siratun-Nabawiyah fi Dhau`il Mashadiril-ashliyyah, hlm. 302). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaudarakan mereka dua dua, satu dari Anshar, dan satu lagi dari Muhajirin.
Ibnu Sa’ad dengan sanad dari syekhnya, al-Waqidi rahimahullah menyebutkan, ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, beliau ﷺ mempersaudarakan antara sebagian kaum Muhajirin dengan sebagian lainnya, dan mempersaudarakan antara kaum Anshar dengan kaum Muhajirin. Rasulullah ﷺ mempersaudarakan mereka dalam al-haq, agar saling menolong, saling mewarisi setelah (saudaranya) wafat. Saat deklarasi itu, jumlah mereka 90 orang, terdiri dari 45 kaum Anshar, dan 45 kaum Muhajirin. Ada juga yang mengatakan 100, masing-masing 50 orang.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, ketika kaum Muhajirin baru tiba di Madinah, kaum Muhajirin bisa mewarisi kaum Anshar karena persaudaraan yang telah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, sedangkan dzawil-arham (kerabat yang bukan ahli waris) tidak.
Di antara contoh praktis buah dari persaudaraan yang dilakukan Rasulullah ﷺ yaitu kisah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu dengan Sa’ad bin Rabi’ radhiyallahu ‘anhu. Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata kepada ‘Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu: “Aku adalah kaum Anshar yang paling banyak harta. Aku akan membagi hartaku setengah untukmu. Pilihlah di antara istriku yang kau inginkan, (dan) aku akan menceraikannya untukmu. Jika selesai masa ‘iddahnya, engkau bisa menikahinya.”
Mendengar pernyataan saudaranya itu, ‘Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Aku tidak membutuhkan hal itu. Adakah pasar (di sekitar sini) tempat berjual beli?”
Lalu Sa’ad radhiyallahu ‘anhu menunjukkan pasar Qainuqa’. Mulai saat itu, ‘Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu sering pergi ke pasar untuk berniaga, sampai akhirnya ia berkecukupan dan tidak memerlukan lagi bantuan dari saudaranya. (Hadis ini selengkapnya bisa dilihat dalam Shahih al-Bukhari, al-Fath, 9/133-134, no. 2048)
Persaudaraan yang dijalin oleh Rasulullah ﷺ terus berlanjut. Ketika kaum Muhajirin sudah merasa biasa, tidak asing lagi, dan sudah mengetahui cara mencari nafkah, maka Allah ta’alaa menggugurkan syariat waris-mewarisi dengan sebab tali persaudaraan seperti ini, namun tetap melanggengkan persaudaraan kaum Mukminin. Allah ta’alaa berfirman, yang artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.” (QS. al-Anfal/8 ayat 75)
Dan firman-Nya, yang artinya: “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (allah).” (QS. al-Ahzab/33 ayat 6).
Peristiwa penghapusan saling mewarisi ini terjadi pada saat perang Badr. Ada juga riwayat yang menjelaskan terjadi pada saat perang Uhud.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan, yang digugurkan adalah saling mewarisi, sedangkan tolong-menolong dan saling menasihati tetap disyariatkan. Dan dua orang yang telah dipersaudarakan bisa mewasiatkan sebagian harta warisannya untuk saudaranya. Inilah pendapat Imam Nawawi rahimahullah. (Lihat, Shahih Muslim, 4/1960)
Di antara bukti yang menunjukkan persaudaraan ini terus berlanjut namun tidak saling mewarisi, yaitu Rasulullah ﷺ mempersaudarakan antara Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu dengan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Padahal Salman radhiyallahu ‘anhu masuk Islam pada masa antara perang Uhud dan perang Khandaq. Rasulullah ﷺ juga mempersaudarakan antara Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu dengan al-Hattat at-Tamimi radhiyallahu ‘anhu. Juga antara Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dengan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. Semua peristiwa ini terjadi setelah perang Uhud. Ini menunjukkan persaudaraan itu masih disyariatkan namun tidak saling mewarisi.
Pelajaran dan Hikmah
Sikap Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu terhadap tawaran saudaranya, yaitu Sa’ad bin Rabi’ radhiyallahu ‘anhu, merupakan iffah atau menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta. Tampak kesiapan mental kaum Muhajirin untuk melakukan pekerjaan yang sanggup mereka lakukan.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber:
As-Siratun-Nabawiyah ash-Shahihah, Dr. Akram Dhiya` al-Umari.
As-Siratun-Nabawiyyah fi Dhau`il Mashadiril-ashliyah, Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad.