Hitung Harta Warisan (Faraid)
Secara etimologis, kata mawaris berasal dari Al Mirats yang artinya berpindahnya sesuatu milik seseorang ke orang lainnya, atau dari suatu kaum ke kaum lainnya. Adapun makna istilahnya adalah ilmu tentang pembagian harta peninggalan setelah seseorang meninggal dunia.
Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraidh (َﺮاﺋِِﺾ َﻔ اﻟْ ِﻋﻠْﻢ). Kata faraidh sendiriditinjau dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari kata ﻓﺮﻳﻀﺔ yang bermakna ketentuan, bagian, atau ukuran. Karenanya bahasan inti dari ilmu warisan adalah perkara-perkara yang terkait dengan harta warisan atau harta peninggalan. Ringkasnya bisa dikatakan bahwa ilmu faraidh adalah disiplin ilmu yang membahas tentang ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah ditentukan untuk masing-masing ahli waris.
Ilmu mawaris akan selalu terkait dengan beberapa unsur yang sering diistilahkan dengan rukun-rukun mawarits. Dalam berbagai referensi yang membahas tentang mawaris dipaparkan bahwa rukun-rukun mawarits ada 3 yaitu;
- Waris (وارث) yaitu orang yang mendapatkan harta Seorang
berhak mendapatkan warisan karena salah satu dari tiga sebab yaitu; pertalian darah, hubungan pernikahan, dan memerdekakan budak.
- Muwarris (ﻣﻮرث) yaitu orang yang telah meninggal dan mewariskan
harta kepada ahli waritsnya. Baik meninggal secara hakiki dalam arti ia telah menghembuskan nafas terakhirnya. Atau meninggal secara taqdiri (perkiraan) semisal seorang yang telah lama menghilang (al-mafqud) dan tidak diketahui kabar beritanya dan tempat ia berdomisili hingga pada akhirnya hakim memutuskan bahwa orang tersebut dihukumi sama dengan orang yang meninggal.
- Maurus (ﻣﻮروث) yaitu harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris
setelah diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan hutang mayit, dan pelaksanaan wasiat mayit. Terkadang mauruts diistilahkan dengan mirats atau irs.
Seorang muslim dituntut menjalankan syariat Islam sesuai dengan apa yang telah digariskan al-Qur’an dan as-Sunnah. Setiap muslim haruslah mentaati semua perintah ataupun larangan Allah sebagai bukti konsistensinya memegang aturan-aturan ilahi.
Demikian halnya saat syariat Islam mengatur hal-hal yang terkait dengan pembagian harta waris. Seorang muslim harus meresponnya dengan baik dan mematuhi aturan tersebut. Karena aturan warisan tersebut merupakan ketentuan Allah yang pasti akan mendatangkan maslahat bagi semua hamba- hamab-Nya. Bahkan Allah memperingatkan dengan keras siapapun yang melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya (termasuk aturan warisan)
Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 14:
Artinya: “Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S. an-Nisa: 14)
Artinya:”Bagilah harta warisan diantara ahli waris sesuai dengan (aturan) kitab Allah.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud).
Beberapa hal yang harus ditunaikan terlebih dahulu oleh ahli waris sebelum harta warisan dibagikan adalah:
- Kalau harta yang ditinggalkan sudah saatnya dikeluarkan zakatnya, maka zakat harta tersebut harus dibayarkan terlebih dahulu.
- Yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan jenazah, mulai dari membeli kain kafan, upah menggali kuburan, dan lain sebagainya.
- Jika mayat memiliki hutang, maka hutangnya harus dibayar terlebih dahulu dengan harta warisan yang ia tinggalkan.
- Jika mayat meninggalkan wasiat, agar sebagian harta peninggalannya diberikan kepada orang lain. Maka wasiat inipun harus dilaksanakan
Apabila keempat hak tersebut (zakat, biaya penguburan, hutang mayat, dan wasiat mayat) sudah diselesaikan, maka harta warisan selebihnya baru dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
Langkah-langkah sebelum pembagian harta warisan
Sebelum membagi harta warisan, terdapat beberapa hal yang perlu diselesaikan terlebih dahulu oleh ahli waris. Hal pertama yang perlu dilakukan saat membagi harta warisan adalah menentukan harta warisan itu sendiri, yakni harta pribadi dari orang yang meninggal, bukan harta orang lain. Setelah jelas harta warisannya, para ahli waris harus menyelesaikan beberapa kewajiban yang mengikat muwaris, antara lain:
- Biaya Perawatan jenazah
- Pelunasan utang piutang
- Hutang kepada Allah, misalnya, zakat, ibadah haji, kafarat dan lain
- Hutang kepada manusi baik berupa uang atau bentuk utang
- Pelaksanaan wasiat
Wajib menunaikan seluruh wasiat muwaris selama tidak melebihi sepertiga dari jumlah seluruh harta peninggalan, meskipun muwaris menghendaki lebih. Dalam surat An-Nisa ayat 12 Allah berfirman:
“Sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar utangnya” (QS. An-Nisa’ [4] : 12).
Menetapkan ahli waris yang mendapat bagian
Pada uraian di muka sudah diterangkan tentang ketentuan bagian masing- masing ahli waris. Di antara mereka ada yang mendapat ½ , ¼, 1/8, 1/3, 2/3 dan 1/6. Kita lihat bahwa semua bilangan tersebut adalah bilangan pecahan.
- Ahli warisnya yang meninggal;
- Ahli waris yang terhalang karena sebab-sebab tertentu, seperti membunuh, perbedaan agama, dan menjadi
- Ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan yang meninggal;
- Ahli waris yang berhak mendapatkan
Cara pelaksanaan pembagian : jika seorang mendapat bagian 1/3 dan mendapat bagian ½, maka pertama-tama kita harus mencari KPK ( Kelipatan Persekutuan Terkecil) dari bilangan tersebut. KPK dari kedua bilangan tersebut adalah 6, yaitu bilangan yang dapat dibagi dengan angka 3 dan 2.
Contoh : Seorang meninggal ahli waris terdiri dari ibu, bapak, suami, seorang anak laki-laki dan anak perempuan, kakek dan paman.
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris adalah fardhu kifayah. Artinya, jika telah ada sebagian kalangan yang mempelajari ilmu tersebut, maka kewajiban yang lain telah gugur. Akan tetapi jika dalam satu daerah/wilayah tak ada seorang pun yang mau mendalami ilmu warisan, maka semua penduduk wilayah tersebut menanggung dosa.
Urgensi ilmu mawarits dapat kita cermati dalam satu teks hadis dimana Rasulullah Saw. menggandengkan perintah belajar al-Qur’an dan mengajarkan al-Qur’an dengan perintah belajar dan mengajarkan ilmu mawarits/faraidh. Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Pelajarilah al Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terenggut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka” (HR. Ahmad, an-Nasa’i, dan ad-Daruqutni)”.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mempelajari ilmu mawarits tidak bisa dianggap sebelah mata, terutama bagi para pendakwah atau penyeru kebajikan. Walaupun hukum awalnya fardhu kifayah, akan tetapi dalam kondisi tertentu, saat tak ada seorangpun yang mempelajarinya maka hukum mempelajari ilmu mawarits berubah menjadi fardhu ain.
Tujuan ilmu mawaris dapat dirangkum dalam beberapa poin di bawah ini
- Memberikan pembelajaran bagi kaum muslimin agar bertanggung jawabdalam melaksanakan syariat Islam yang terkait dengan pembagian harta waris.
- Menyodorkan solusi terbaik terhadap berbagai permasalahan seputar pembagian harta waris yang sesuai dengan aturan Allah ta’ala.
- Menyelamatkan harta benda si mayit hingga tidak diambil orang-orang dzalim yang tidak berhak
Sumber hukum ilmu mawaris adalah al-Qur’an dan al-Hadis. Berikut beberapa teks al-Qur’an yang menjelaskan tentang ketentuan pembagian harta waris.
- Firman Allah ta’ala dalam surat an-Nisa ayat 7:
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.(QS. an-Nisa’ : 7)
- Firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 11-12:
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya memperoleh seperenam. (Pembagian- pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri- istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. An-Nisa’ [4]: 11-12)
Adapun beberapa teks hadis yang terkait dengan pembahasan warisan adalah:
- Sabda Rasulullah :
Artinya: ”Belajarlan ilmu faraidh (warisan) dan ajarkanlah ilmu tersebut. Karena sesungguhnya ia merupakan setengah dari ilmu, dan ia akan dilupakan, dan ia merupakan ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku.” (H.R. Ibnu Majah, ad- Daruqutni)
Ilmu mawaris mempunyai kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Ia menjadi solusi efektif berbagai permasalahan umat terkait pembagian harta waris. Kala ilmu mawaris diterapkan secara baik, maka urusan hak adam akan terselesaikan secara baik. Semua ahli waris akan mendapatkan haknya secara proporsional. Mereka tak akan didzalimi ataupun mendzalimi, karena semuanya sudah disandarkan pada aturan Allah ta’ala.
Pada beberapa hadis yang telah kita sebutkan sebelumnya, Rasulullah juga mengingatkan umatnya untuk tidak melupakan ilmu mawaris, karena ia merupakan bagian penting dalam agama.
Harta warisan (maurus/ tirkah)
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal, pembayaran hutang, pengurusan jenazah serta wasiat pewaris.
Pewaris
Pewaris adalah orang yang saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Bagi pewaris mempunyai ketentuan barang yang ditinggalkan di mana barang itu merupakan milik sempurna dan pewaris benar-benar telah meninggal dunia.
Ahli Waris
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak mewarisi karena hubungan kekerabatan (nasab), hubungan pernikahan dengan pewaris dan beragama Islam.
Setiap aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt. pasti mempunyai hikmah dan hal itu merupakan kemaslahatan bagi manusia sendiri. Syariat waris diturunkan untuk memberikan pengaturan bagi manusia dan memberikan rasa adil. Diantara hikmah waris adalah:
- Kewajiban dan hak keluarga mayit dapat teratur dan dihormati. Kewajiban untuk mengurus haq al-adami mayit yang meliputi mengurus jenazah, melaksanakan wasiat dan menyelesaikan hutang piutang dapat terlaksana, demikian pula dengan hak keluarga mayit yakni menerima harta warisan.
- Menghindari perselisihan antar ahli waris atau keluarga mayit yang ditinggalkan. Menjaga silaturahmi keluarga dari ancaman perpecahan yang disebabkan harta warisan serta memberikan rasa aman dan adil.
- Terjaganya harta warisan hingga sampai kepada individu yang berhak menerima harta warisan. Memberikan legalitas atas kepemilikan harta warisan. Adapun mengenai perbedaan bagian waris untuk laki-laki dan perempuan, maka itu adalah sebuah konsekuensi logis di mana seorang laki-laki di tuntut untuk menafkahi isteri dan keluarganya sementara perempuan tidak memiliki kewajiban untuk menafkahi. Maka, suatu hal yang wajar jika seorang laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar dari bagian seorang perempuan. Berikut ini perbandingan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan:
- Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum laki-laki yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
- Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan lebih banyak dibandingkan kaum wanita.
- Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Ketika telah dikaruniai anak, ia juga berkewajiban untuk menafkahi anaknya.
- Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki, sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Menurut bahasa ashabah adalah bentuk jamak dari ”ashib” yang artinya mengikat, menguatkan hubungan kerabat/nasab. Menurut syara’ ’ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta setelah harta dibagi kepada ahli waris dzawil furudh.
Ahli waris yang menjadi ashabah mempunyai tiga kemungkinan:
Pertama; mendapat seluruh harta waris saat ahli waris dzawil furudh tidak ada.
Kedua; mendapat sisa harta waris bersama ahli waris dzawil furudh saat ahli waris zawil ada.
Di dalam istilah ilmu faraidh, macam-macam ‘ashabah ada tiga yaitu:
- ‘Ashabah Binafsihi yaitu ahli waris yang menerima sisa harta warisan dengan sendirinya, tanpa disebabkan orang Ahli waris yang masuk dalam kategori ashabah binafsihi yaitu:
-
- Anak laki-laki
- Cucu laki-laki
- Ayah
- Kakek
- Saudara kandung laki-laki f) Sudara seayah laki-laki
- Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
- Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
- Paman kandung
- Paman seayah
- Anak laki-laki paman kandung
- Anak laki-laki paman seayah
- Laki-laki yang memerdekakan budak
Apabila semua ashabah ada, maka tidak semua ashabah mendapat bagian, akan tetapi harus didahulukan orang-orang (para ashabah) yang lebih dekat pertaliannya dengan orang yang meninggal. Jadi, penentuannya diatur menurut nomor urut tersebut di atas.
Jika ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka mengambil semua harta ataupun semua sisa. Cara pembagiannya ialah, untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan. Firman Allah dalam al-Qur’an :
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan”. (Q.S.An-Nisa’[4] : 11)
- Ashabah Bilghair yaitu anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan seayah, yang menjadi ashabah jika bersama saudara laki-laki mereka masing-masing ( ‘Ashabah dengan sebab terbawa oleh laki-laki yang setingkat ).
Berikut keterangan lebih lanjut terkait beberapa perempuan yang menjadi ashabah dengan sebab orang lain:
-
- Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah
- Cucu laki-laki dari anak laki-laki, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah.
- Saudara laki-laki sekandung, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah.
- Saudara laki-laki sebapak, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah.
Ketentuan pembagian harta waris dalam ashabah bil ghair, “bagian pihak laki-laki (anak, cucu, saudara laki-laki) dua kali lipat bagian pihak perempuan (anak, cucu, saudara perempuan)”.
Allah berfirman adalam al-Qur’an :
Artinya:“Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan”. (.Q.S, An-Nisa’ [4] : 176 )
- ‘Ashabah Ma’algha’ir (‘ashabah bersama orang lain) yaitu ahli waris perempuan yang menjadi ashabah dengan adanya ahli waris perempuan Mereka adalah :
- Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau cucu perempuan dari anak laki-
- Saudara perempuan seayah menjadi ashabah jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-
Dalam kajian ilmu faraidh, hal-hal yang menyebabkan seseorang tidak mendapatkan harta warisan masuk dalam pembahasan mawani’ul irs (penghalang- penghalang warisan). Penghalang yang dimaksud disini adalah hal-hal tertentu yang menyebabkan seseorang tidak mendapatkan warisan, padahal pada awal mulanya ia merupakan orang-orang yang semestinya mendapatkan harta waris.
Orang yang terhalang mendapatkan warisan disebut dengan mamnu’ al-irs atau mahjub bil washfi (terhalang karena adanya sifat tertentu). Mereka adalah; pembunuh, budak, murtad, dan orang yang berbeda agama dengan orang yang meninggalkan harta warisnya. Berikut penjelasan singkat ketiga kelompok manusia yang masuk dalam kategori mamnu’ al-irs tersebut:
Pembunuh
Orang yang membunuh salah satu anggota keluarganya maka ia tidak berhak mendapatkan harta warisan dari yang terbunuh. Dalam salah satu qaidah fiqhiyah dijelaskan:
Artinya: ”Barangsiapa yang tegesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu, maka ia tidak diperbolehkan menerima sesuatu tersebut sebagai bentuk hukuman untuknya.”
“Bagi pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan sedikitpun”.(HR. an-Nasa’i dan al-Daruqutni)
Dalam masalah tidak berhaknya pembunuh mendapatkan harta warisan orang yang terbunuh, sebagiain ulama memisahkan sifat pembunuhan yang terjadi. Jika pembunuhan yang dilakukan masuk dalam kategori sengaja, maka pembunuh tidak mendapatkan harta warisan sepeser pun dari korban. Adapun jika pembunuhannya bersifat tersalah maka pelakunya tetap mendapatkan harta waris. Pendapat ini dianut oleh imam Malik bin Anas dan pengikutnya.
Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak berhak mendapatkan harta warisan dari tuannya. Demikian juga sebaliknya, tuannya tidak berhak mendapatkan warisan dari budaknya karena ia memang orang yang tidak mempunyai hak milik sama sekali. Terkait dengan hal ini Allah berfirman:
Artinya: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun.” (QS. An-Naḥl: 75)
Orang Murtad
Murtad artinya keluar dari agama Islam. Orang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga sebaliknya. Rasulullah Saw. bersabda:
“Orang Islam tidak bisa mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak bisa mewarisi harta dari orang Islam (Muttafaq ‘Alaih)
Agama Perbedaan
Orang Islam tidak dapat mewarisi harta warisan orang kafir meskipun masih kerabat keluarganya. Demikian juga sebaliknya. Dalil syar’i terkait hal ini
adalah hadis yang telah kita pelajari sebelumnya bahwa seorang muslim tidak akan menerima warisan orang kafir, sebagaimana juga orang kafir tidak akan menerima warisan orang muslim.
Sebagaimana maklum adanya, dalam pembagian harta warisan terkadang ada ahli waris yang terhalang mendapatkan harta warisan karena sebab tertentu, dan sebagian lain ada juga yang tidak mendapatkan harta warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lain. Akan tetapi ada beberapa ahli waris yang haknya untuk mendapatkan warisan tidak terhalangi walaupun semua ahli waris ada. Mereka adalah:
- Anak laki-laki (اﺑﻦ)
- Anak perempuan (ﺑﻨﺖ)
- Bapak (أب)
- Ibu (أم)
- Suami (زوج)
- Istri (زوﺟﺔ)