Tafsir Al-Qur’an ( تفسير القرآن) adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur’an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya. Kebutuhan umat Islam terhadap tafsir Al-Qur’an, sehingga makna-maknanya dapat dipahami secara penuh dan menyeluruh, merupakan hal yang mendasar dalam rangka melaksanakan perintah Allah sesuai yang dikehendaki-Nya.

Dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab, tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur’an dan isinya. Ilmu untuk memahami Al-Qur’an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an).

Terdapat tiga bentuk penafsiran yaitu Tafsîr bil ma’tsûr, at-tafsîr bir ra’yi, dan tafsir isyari,

dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i.

Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.

Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi ﷺ sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.

Silahkan Pilih Surat & Ayat

Tafsir Ibnu Katsir

Al Hafizh Imaduddin Abul Fida Ismail bin Umar bin Katsir (Ibnu Katsir) adalah salah seorang ulama yang telah berhasil melakukan kajian tafsir dengan sangat hati-hati serta dilengkapi dengan hadits dan riwayat yang masyhur. Hal itu terbukti dengan ketelitiannya dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran yang mulia telah menjadikan kitab tafsirnya tersebut sebagai rujukan sekaligus bahan kajian bagi mayoritas kaum muslimin di seluruh dunia. Tidak diragukan lagi bahwa Tafsir Ibnu Katsir adalah salah satu kitab tafsir yang kandungan isinya tidak dibaurkan dengan ilmu lain.

Dengan demikian, Buku Tafsir Ibnu Katsir ini diharapkan dapat mencapai tujuan yang tinggi dan mulia, yaitu menyampaikan maksud firman Allah Taala melalui manhaj yang lurus dan valid serta jalan pemahaman ulama Salafush Shalih yaitu penafsiran Al Quran dengan Al Quran, penafsiran Al Quran dengan hadits, dengan merujuk kepada pendapat para ulama Salafush Shalih dari kalangan para Sahabat dan Tabiin dengan konsep dan kaidah bahasa Arab. Lalu DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh meringkas kitab ini dan memberi nama “Lubaabut Tafsiir”.

Dalam melakukan peringkasan tafsir al quran ini, beliau melihat cara terbaik adalah dengan membiarkan apa adanya kalimat yang ditulis oleh Ibnu Katsir sendiri, dan menghilangkan beberapa hal yang dianggap tidak perlu, seperti cerita, hadits dhaif dan lain sebagainya.

Setelah dilakukan peringkasan, beliau melakukan beberapa penambahan :

  • Penafsiran tiga ayat dari surat al-Maidah. Nomor ayat-ayat tersebut adalah 97, 98, 99, dan akhir dari ayat 96.
  • Mentakhrij lebih dari 300 hadits yang dikemukakan penulis tafsir ini (Ibnu Katsir) tanpa ada komentar darinya.
  • Menisbatkan qiraat dan riwayatnya kepada para tokohnya secara rinci dan teliti, yang oleh penulis buku ini disampaikan secara ijmal (ringkas).
  • Menafsirkan lafadz-lafadz yang ditulis dalam kitab ini yang sulit difahami maksudnya oleh para penuntut ilmu.
  • Melakukan ralat terhadap sedikit kesalahan dalam kitab berkenaan dengan qiraat atau pun yang lain.

Semoga kitab tafsir shahih Ibnu Katsir ini ( format PDF) dapat menjadi rujukan baik kaum muslimin dalam mempelajari dan memperdalam ilmu tafsir al quran. Semoga Allah subhanahu wa taala tetap menjaga kita di jalan-Nya. Aamiin.

1. KELAHIRAN

Ibnu Katsir bernama lengkap Ismail bin Umar bin Katsir bin Dhau’i bin Katsir bin Dhau’i bin Dar’i bin al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Bushrawi ad-Dimasyqi. Ia digelari dengan ‘Imaduddin (penopang agama). Nama kunyahnya adalah Abul Fida’. Ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir, nisbat kepada sang kakek. Dalam fikih, Ibnu Katsir berpegang dengan madzhab Syafi’i. Namun begitu, ia tidak fanatik dengan madzhabnya tersebut.

Ibnu Katsir dilahirkan di Damaskus, Syam. Tepatnya di daerah Majdal yang terletak sebelah timur Bushra pada tahun 701 H (1301 M). Ayahnya dikenal sebagai khatib di Majdal. Dalam usia 2 tahun Ibnu Katsir telah menjadi yatim. Ayahnya meninggal pada tahun 703 H. Sepeninggal sang ayah tercinta, Ibnu Katsir diasuh oleh kakak kandungnya, Kamaluddin ‘Abdul Wahab. Tahun 707 H, dengan didampingi sang kakak, ia pindah ke Damaskus. Ketika itu ia berusia 6 tahun.

2. WAFAT

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata, “Beliau hilang penglihatan di akhir hayatnya dan wafat di Damaskus, Syam pada tahun 77 4 H/ 1373 M. Semoga Allah mencurahkan rahmat seluas-luasnya kepada beliau dan menempatkan beliau di Surga-Nya yang luas.

3. PENDIDIKAN

Beliau mulai menuntut ilmu kepada saudara kandung beliau Abdul Wahhab bin Umar bin Katsir sejak usia dini. Pada tahun 711 H beliau telah hafal al-Qur’an da-lam usia 10 tahun. Sesudah itu beliau banyak mengha-fal matan-matan, berbagai bidang ilmu agama dan ba-hasa Arab.

Beliau memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu hadits terutama dalam mencari riwayat, menelaah, il-al dan rijal.

Demikian juga, beliau memiliki perhatian yang  besar terhadap ilmu fiqih, tafsir dan qira’ah.

Beliau selalu gigih dalam menuntut ilmu sehingga me-njadi masyhur nama beliau hingga keluar negeri Sya-m. Banyak ulama yang memberi ijazah-ijazah sanad kepada beliau dari Baghdad, Kairo, dan kota-kota lain-nya. Demikian juga banyak para ulama dan penuntut ilmu dari seluruh penjuru negeri datang kepada beli-au untuk mereguk ilmu darinya.

Beliau terus tekun menulis karya-karya ilmiah dalam fiqih dan ushulnya, hadits dan ushulnya, tafsi, dan ta-rikh hingga beliau kehilangan pengelihatannya, keti-ka beliau sedang menulis kitab Jami’ul Masanid wa Su-nan yang belum sempat beliau selesaikan karena data-ng ajal beliau pada tahun 774 H.

4. GURU-GURU

  1. Ibnu Asakir
  2. Abdul Wahhab bin Umar bin Katsir (Saudara Kandung)
  3. Syaikh Burhanuddin Ibrahim bin Abdirrahman al-Fazari yang terkenal dengan nama Ibnul Farkah (wafat 729 H), Di Damsyik Syria, beliau belajar dengan Isa bin al-Muth’im
  4. Ahmad bin Abi Thalib, terkenal dengan nama Ibnu Syahnah (walat 730H)
  5. Ibnul Hajjar yang (wafat 730 H), Baha-uddin al-Qasim bin Muzhaffar Ibnu Asakir, ahli hadis negeri Syam yang wafat pada tahun 723 H
  6. Ibnu asy-Syirazi
  7. Ishaq bin Yahya al-Amidi Afifuddin –ulama Zhahiriyah (wafat 725 H)
  8. Muhammad lbnu Zar rad, menyertai Syaikh Jamaluddin Yusuf bin az-Zaki al’Mizzi (wafat 742H), beliau mendapat banyak faedah dan menimba ilmu darinya dan akhirnya beliau menikahi puterinya
  9. Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ahmad bin Abdil Halim bin Abdis Salam bin Taimiyyah (wafat 728 H), Sebagaimana beliau menimba ilmu dari Syaikh al-Hafizh, seorang ahli tarikh (sejarah)
  10. Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qayimaz adz-Dzahabi (wafat pada tahun 748 H), Dan ulama Mesir yang memberi beliau ijazah adalah Abu Musa al-Qarafi, Abul Fath ad-Dabbusi, Ali bin Umar as-Sawani

5. MURID-MURID

Di antara Murid-murid beliau adalah:

  1. al-Imam Syihab-uddin Abul Abbas Ahmad bin Alauddin Hajji ad-Dima-syqi
  2. al-Hafizh Zainuddin al-Iraqi
  3. al-Hafizh Waliyyud-din Abu Zur’ah bin al-Hafidz al-Iraqi
  4. al-Hafizh Syams-uddin Abul Khair Muhammad bin Muhammad al-Jaza-ri asy-Syafi’i, dan masih banyak lagi selain mereka.

6. PUJIAN PARA ULAMA KEPADA IBNU KATSIR

1. Al-Hafizh al-Kabir Abul Hajjaj Yusuf bin az-Zaki Abdurrahman bin Yusuf al-Mizzi.

Ibnu Katsir memfokuskan diri untuk mempelajari ilmu hadits kepada al-Mizzi. Al-Mizzi adalah guru yang paling berpengaruh dalam kehidupan Ibnu Katsir. Disamping sebagai guru, al-Mizzi juga sebagai mertua Ibnu Katsir, karena beliau mempersunting putri al-Mizzi yang bernama Ammatu Rahim Zainab.

2. Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim bin Abil Qasim bin Taimiyah al-Harrani.

Ibnu Katsir juga menimba ilmu sekian lamanya dengan mempelajari banyak ilmu kepada Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah pun banyak memberikan pengaruh dalam kehidupan Ibnu Katsir. Ibnu Katsir menyebutkan tentang biografi Ibnu Taimiyah dalam kitab al Bidayah wa an Nihayah, “Antara aku dan beliau terjalin kecintaan dan persahabatan dari kecil.”

Saking dekatnya persahabatan dengan Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir pun ikut mendapatkan cobaan sebagaimana yang dialami oleh Ibnu Taimiyah. Dari sini ada sebuah pelajaran berharga bagi kita semua bahwa perbedaan madzhab bukanlah sebagai alasan untuk bersikap fanatik. Sebab, sikap fanatik akan menghalangi seseorang dalam belajar atau mengajarkan ilmu satu sama lain. Ibnu Katsir adalah seorang tokoh ulama syafi’iyyah (madzhab syafi’i) dan Ibnu Taimiyah adalah tokoh ulama hanabilah (madzhab hanbali).

3. Al-Hafizh al-Kabir Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Utsman adz-Dzahabi.

Beliau adalah salah seorang tokoh ulama yang sangat mumpuni dalam ilmu sejarah dan ilmu hadits. Ibnu Katsir menyebutkan tentang biografi adz-Dzahabi dalam kitab al Bidayah wa an Nihayah, “Beliau adalah tokoh penutup para ulama ahli hadits dan para penghafal hadits.”

7. KARYA-KARYA

Berikut ini adalah bagian karya- karya Ibnu Katsir yaitu:

  1. Tafsir al-Qur’anul Azhim
  2. Bidayah wa Nihayah
  3. Fushul fi Ikhtshari Sirati Rasul
  4. Maulidur Rasul صلى الله عليه وسلَّم
  5. Ikhtishar Ulumul Hadits
  6. at-Takmil fi Ma’rifati Tsiqat wa Dhu’afa’ wal Majahil
  7. Jami’ul Masanid wa Sunan al-Hadi li Aqwami Sunan
  8. Ittihaful Mathalib bi Ma’rifati Ahadits Mukhtashar Ibnul Hajib
  9. Irsyadul Faqih ila Ma’rifati Adillati Tanbih
  10. al-Ijtihad fi Thalabil Jihad
  11. Syarh Shahih Bukhari
  12. Kitabul Ahkam
  13. Syarh Qith’atu Tanbih lil Imam Abi Ishaq asy-Syair- azi
  14. Musnad Syaikhain Abu Bakr wa Umar
  15. Musnad Umar bima Ruwiya anhu minal Hadits wal Aatsar
  16. Kitabul Muqaddimat
  17. Mukhtashar Kitab al Madkhal lil Baihaqi
  18. Thabaqah Syafi’iyyah wa Manaqib asy-Syafi’i

8. REFERENSI

Dikumpulkan dari berbagai sumber

Tafsir Jalalain

Mengenal Tafsir Jalalain

Anda barangkali sudah pernah dengar kitab tafsir Jalalain. Kenapa disebut Jalalain? Apa keunggulan dan kelemahan kitab tafsir ini?

Mengenal dua Jalaluddin: Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi

Al-Jalalain artinya dua Jalal. Dinamakan demikian, karena kitab tafsir ini ditulis oleh dua orang ulama terkenal yaitu Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Al-Mahalli. Beliau lahir di Mesir pada tahun 771 H dan meninggal dunia pada tahun 864 H di Mesir. Penulis kedua adalah Imam Jalaluddin Abul Fadhl ‘Abdurrahman bin Abu Bakr bin Muhammad bin Abu Bakr Al-Khudhairy Ath-Thuluuni Al-Mishri Asy-Syafi’i, biasa disebut dengan Imam As-Suyuthi. Beliau lahir setelah Maghrib pada malam Ahad bulan Rajab tahun 849 H dan wafat pada malam Jumat 19 Jumadal Ula di rumahnya di Mesir dalam usia 61 tahun pada tahun 911 H.

Awalnya Jalaluddin Al-Mahalli menulis tafsir ini mulai dari surah Al-Kahfi sampai surah An-Naas. Dan ketika menyelesaikan tafsir surah Al-Fatihah, beliau wafat. Lalu Jalaluddin As-Suyuthi pun melanjutkannya. Beliau menulis dari tafsir surah Al-Baqarah hingga surah Al-Isra’.

Secara metodologi penulisan, tidak ada perbedaan mencolok di antara dua penulis.

Penilaian ulama mengenai tafsir Jalalain

Kelebihan kitab tafsir ini adalah:

  1. Tidak bertele-tele (ini kitab tafsir ringkas).
  2. Mudah dipahami.
  3. Menyebutkan pendapat yang rajih (kuat) dari berbagai pendapat yang ada.
  4. Sering menyebutkan sisi i’rab dan qira’at secara ringkas.
  5. Para ulama banyak menelaah kitab tafsir ini dan bahkan ada yang memberikan catatan kaki, juga penjelasan.

Kekurangan kitab tafsir ini adalah:

1. Kitab tafsir ini memakai metode ahli takwil ketika mengkaji tafsir ayat sifat Allah (ahli takwil merubah maknanya tanpa ada dalil). Salah satu contoh ketika pembahasan surah Al-Fajr ayat 22 diterangkan mengenai kedatangan Allah secara hakiki, namun ditafsirkan dengan kedatangan ‘amruhu’ (perintah-Nya). Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri memberikan catatan bahwa ini adalah takwil yang menyelisihi metode salafush shaleh. Ayat ini sejatinya menetapkan bahwa Allah itu datang sesuai keagungan Allah tanpa kita melakukan tasybih (menyerupakan dengan makhluk), tamtsil (menyamakan dengan makhluk), takyif (menyebutkan hakikat sifat tanpa dalil), atau taktil (menolak sifat). Lihat catatan kaki Tafsir Al-Jalalain (ta’liq: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri), hlm. 604.

2. Kitab tafsir ini terlalu bermudah-mudahan dalam penentuan beberapa bagian sejarah dan letak geografi tentang suatu kejadian dari ayat, atau semacamnya.

Mulai Tafsir Surah Al-Fatihah

Surah Al-Fatihah dalam Tafsir Al-Jalalain disebutkan adalah surah Makkiyyah (turun sebelum hijrah) terdiri dari tujuh ayat.

Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 10), Jalaluddin Al-Mahalli menyebutkan, “Jika basmalah itu bagian dari Al-Fatihah, maka terdiri dari tujuh ayat, ayat ketujuh adalah “shirotholladziina” sampai akhir surah. Sedangkan jika basmalah bukan merupakan bagian dari surah Al-Fatihah, ayat ketujuh adalah “ghoiril magh-dhuubi ‘alaihim” sampai akhir surah. Dari ayat “iyyaka na’budu” itu dimaksudkan untuk hamba sebagaimana disebutkan dalam hadits.”

Maksud dari Jalaluddin A-Mahalli di atas adalah hadits berikut ini.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهْىَ خِدَاجٌ – ثَلاَثًا – غَيْرُ تَمَامٍ ». فَقِيلَ لأَبِى هُرَيْرَةَ إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الإِمَامِ. فَقَالَ اقْرَأْ بِهَا فِى نَفْسِكَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِى عَبْدِى وَإِذَا قَالَ (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَىَّ عَبْدِى. وَإِذَا قَالَ (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ). قَالَ مَجَّدَنِى عَبْدِى – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَىَّ عَبْدِى – فَإِذَا قَالَ (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ). قَالَ هَذَا بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ. فَإِذَا قَالَ (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ). قَالَ هَذَا لِعَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ ».

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang shalat lalu tidak membaca Ummul Qur’an (yaitu Al-Fatihah), maka shalatnya kurang (tidak sah) -beliau mengulanginya tiga kali-, maksudnya tidak sempurna.”

Maka dikatakan pada Abu Hurairah bahwa kami shalat di belakang imam.

Abu Hurairah berkata, “Bacalah Al Fatihah untuk diri kalian sendiri karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Allah Ta’ala berfirman: Aku membagi shalat (maksudnya: Al Fatihah) menjadi dua bagian, yaitu antara diri-Ku dan hamba-Ku dua bagian dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika hamba mengucapkan ’alhamdulillahi robbil ‘alamin (segala puji hanya milik Allah)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah memuji-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘ar rahmanir rahiim (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘maaliki yaumiddiin (Yang Menguasai hari pembalasan)’, Allah berfirman: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku. Beliau berkata sesekali: Hamba-Ku telah memberi kuasa penuh pada-Ku. Jika ia mengucapkan ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan)’, Allah berfirman: Ini antara-Ku dan hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan ‘ihdiinash shiroothol mustaqiim, shirootolladzina an’amta ‘alaihim, ghoiril magdhuubi ‘alaihim wa laaddhoollin’ (tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan jalan orang yang sesat), Allah berfirman: Ini untuk hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta.’” (HR. Muslim, no. 395).

Semoga Allah beri taufik dan hidayah.

Referensi:

  • Tafsir Al-Jalalain. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury. Penerbit Darus Salam.
  • Tafsir Jalalain. Penerbit Pustaka Al-Kautsar.

Biografi Pengarang Tafsir Jalalain

Tafsir Jalalain disusun oleh dua orang Alim Kabir yang terkenal pada masanya yaitu Al-Imam Jalaludin Al-Mahaly dan Al-Imam Jalaludin As-Suyuthi Rahimahumallahu.

Walaupun Tafsir ini disusun oleh dua orang akan tetapi karena memiliki pola penafsiran yang sama maka seakan-akan kitab ini disusun oleh satu orang. Tafsir Jalalain adalah kitab tafsir dengan Ra’yi, Adapun pekerjaan yang dilakukan oleh beliau berdua adalah sebagai berikut :

Imam Jalaludin Al-Mahaly menafsirkan setengah bagian kedua dari Al-Quran yaitu dimulai dari surat Al-Kahfi sampai An-Naas dan termasuk surat Al-Faatihah. Adapun Imam Jalaludin As-Suyuti menafsirkan bagian pertama dari Al-Quran dimulai dari surat Al-Baqarah sampai surat Al-Israa.

Di antara keistimewaan dari Tafsir Jalalain adalah : ringkas, detail, tidak bertele-tele dalam menafsirkan ayat.

Berikut ini adalah Biografi dari Imam Jalaludin Al-Mahaly dan Imam Jalaludin As-Suyuti

1. Imam Jalaludin Al-Mahaly
Beliau Bernama Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Ibrahim Al-Mahaly Asy-Syafi’I yang dijuluki dengan Jalaludin, Ahli Ushul, Orator ulung yang faqih dan seorang ahli tafsir.

Beliau dilahirkan di Mesir pada tahun 791 H.

Beliau mahir dalam berbagai cabang ilmu dan beliau menjadi ciri dalam hal kecerdasan dan pemahaman, di antara orang yang berjalan di atas jalan orang yang terdahulu dalam kesalihan, kewara’an dan ketaqwaan. Beliau mengatakan kebenaran dengan sebenarnya dan tidak takut di jalan Allah terhadap celaan orang yang mencela, ditawarkan kepadanya kekuasaan, akan tetapi beliau menolaknya.

Beliau melakukan aktifitas mengajar di Madrasah Muayyidiyah dan Barquqiyah.

Beliau memiliki karangan ilmiah yang banyak di dalam ilmu Fiqih, ushul fiqih dan lainnya dan di antara karangan beliau adalah :

  • Syarhul Waraqat Fil Ushul
  • Syarhul Manhaj Fil Fiqhi
  • Syarhu Jam’il Jaami Fil Ushul
  • Kitabun Fil Jihad
  • Dan lain-lain yang merupakan karangan yang beharga.

Beliau wafat pada tahun 864 H dalam usia 73 tahun Rahimahullahu rahmatan wasi’tan, beliau telah memberikan manfaat kepada kita dan kaum muslimin dengan ilmunya dan semoga Allah mempertemukan kita dengannya pada keadaan terbaik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Menjawab.

2. Imam Jalaludin As-Suyuti
Beliau Bernama Abdurrahman Jalaludin Bin Kamaludin Al-Hudhairy As-Suyuti, seorang ahli ilmu dan muhaddts yang memiliki keilmuan yang luas dalam berbagai cabang keilmuan, beliau memiliki karangan-karangan yang terkenal. Beliau dilahirkan pada tahun 849 H di Mesir.

Beliau memiliki kepandaian yang luas, menghafal begitu banyak matan-matan keilmuan di dalam berbagai cabang keilmuan. Beliau melakukan perjalan ke berbagai penjuru untuk mencari ilmu di antaranya : Syam, Hijaz, Yaman, India, Maroko dan tempat-tempat lainnya .

Beliau dikenal sebagai ahli ilmu pada masanya, ilmunya mencurah dengan dengan deras. Beliau melakukan aktifitas mengajar dan berfatwa pada masanya dan menyebar keterkenalnya ke berbagai penjuru.

Beliau tumbuh dalam keadaan yatim dan berakhlak dengan akhlaknya para ulama yang mulia, memiliki kekayaan jiwa, sangat lembut dan mulia dan menjauh dari orang yang memiliki kedudukan dan kekuasaan.

Beliau menuntut ilmu di hadapan Masyaikh yang banyak, beliau mengatakan : Aku mengambil ilmu dari 600 orang dan aku telah menyusun mereka dalam Urjuzah.

Adapun mengenai karangan beliau maka tidak ada halangan untuk menceritakannya, sangat banyak dan sangat bagus. Salah seorang muridnya yaitu Ad-Dawudy Al-Maliku mengatakan bahwan karangannya mencapai 500 buah dan Ibnu Iyas di dalam kitab Tarikhnya mengatakan bahwa karangannya mencapai 600 buah.

Karangan beliau meliputi berbagai cabang ilmu agama dan Bahasa : di antaranya ilmu fiqih, hadits, tafsir, nahwu, balaghah, adab, Tarikh dan beliau memiliki bakat yang hebat dalam ilmu syi’ir dan memiliki kitab susunan sya’ir.

Di antara kitab-kitab karangan beliau

Ilmu Al-Quran dan Tafsir

  • Al-Itqan Fi Ulumil Quran
  • Ad-Durur Mantsur fit Tafsir Bil Ma’tsur
  • Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul dan yang laiinya.

Hadits dan Ilmunya.

  • Tanwirul Hawalik Fi Syarhil Muwatha Malik
  • Al-Jami’ush Shaghir Fi Ahaditsil Basyirin Nadzir
  • Ad-Dibaj Ala Shahih Muslim Bin Hajjaj
  • Zahru Rabiy ‘ala mujtaby dan ini adalah syarah Sunan Nasa’iy
  • Tadribur Rawy fi Syarhi Taqribin Nawawy dan lainnya.

Fiqih

  • Al-Asybah Wan Nazhair Fi Fiqhil Imam Syafi’i
  • Al-Hawy Lilfatawa
  • Adabul Futya
  • Al-Jaami’ Fil Faraidh
  • Al-Azharul Ghuddhah Fi Fiqhir Raudhah dan lainnya


Bahasa Arab dan Ilmunya

  • Al-Asybah Wan Nazhair An-Nahwiyah
  • Ta’riful A’jam Bihurufil Mu’jam
  • Al-Faridah Fin Nahwi Wat Tashrif Wal Khat
  • Al-Musyih Fi Ilmin Nahwi
  • Ham’ul Hawami’ Syarhu Jam’il Jawami’ dan lainnya

Biografi dan Thabaqat

  • Thabaqatul Huffazh
  • Thabaqatul Ushuliyin
  • Bughyatul Wu’at Fi Thabaqatin Nuhat
  • Thabaqatul Muhadditsin dan lainnya.

Beliau wafat pada tahun 911 H dalam usia 62 tahun Rahimahullahu Rahmatan Wasi’atan

Tafsir Al-Ashar

Salah satu penafsir Alquran pada masa modern yang mengikuti gaya al-manar adalah Abdul Malik Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka. Sosok ilmuan, ulama, budayawan, sastrawan, pendidik, dan aktivis Islam yang telah malang melintang dalam sejarah pergerakan di Indonesia ini mencetuskan karya di bidang tafsir Al-Azhar.

Buya Hamka yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama ini dikenal sangat piawai dalam menulis. Atas kepiawaiannya itu, sangat membantu Buya Hamka dalam membuat tafsir Al-azhar sebagai salah satu karya masyhur dari buku-buku karya Buya Hamka lainnya.
Latar belakang kehidupan dan keilmuan Buya Hamka sangat jelas membekas dan memengaruhi corak, serta karakteristik karya tafsirnya tersebut. Karakteristik tafsir ini berkisar antara adabi-ijtima’i atau sastra dan kemasyarakatan.

Banyak pengalaman kehidupan yang dirasakan oleh Buya Hamka tertuang dalam tafsirnya ini. Selain itu, dalam hal pemikiran yang tertuang di tafsirnya ini, Buya Hamka sangat terpengaruh oleh Gerakan pencerahan keislaman Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Hal ini bisa dilihat daru tafsirnya. Namun, sebagai ulama besar dan kharismatik, Buya Hamka juga banyak mengutip hadist Nabi Muhammad SAW, perkataan sahabat dan tabiin sehingga, tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka ini menjadi karya tafsir yang harmonis antara tafsir bil matsur dan bil ma’qul.

Biografi Hamka dan Tafsir Al-Azhar

TAFSIR yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Tafsir Al-Azhar karya Prof. Hamka yang banyak dirujuk oleh para pengkaji Al-Quran, penjelasannya mudah dan menyejukkan, detail dan mengikuti perkembangan zaman.

Biografi Buya Hamka

HAMKA nama adalah akronim (kependekan) dari nama sebenarnya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah, Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang dikenal dengan nama lain Haji Rasul adalah termasuk keturunan Abdul Arif yang bergelar Tuanku Pauh Pariaman Nan Tuo, salah seorang Pahlawan Paderi, dikenal dengan sebutan Haji Abdul Ahmad. Dr. H. Abdul Karim Amrullah adalah salah satu ulama terkemuka yang termasuk dalam tiga serangkai: Syekh Muhammad Jamil Djambek, Dr. H. Abdullah Ahmad, dan Dr. H. Abdul Karim Amrullah sendiri. Ia menjadi pelopor gerakan “Kaum Muda” di Minangkabau setelah kembali dari Mekah pada 1906 sekaligus teman dekat pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan.

Buya Hamka terlahir dari dunia penuh gejolak pada zamannya. Pertama, masa Revolusi Kemerdekaan R.I. dan, kedua, karena faktor modernisasi atau pembaharuan sistem pendidikan di Indonesia. Ayahnya sendiri adalah tokoh pembaharu yang memperkenalkan sistem pendidikan modern dan organisasi Muhammadiyah di Minangkabau.

Buya Hamka menjalani masa pendidikan sekitar tujuh tahun lebih antara 1916 hingga 1924. Menginjak usia 29 tahun, Buya Hamka memulai aktivitas kerjanya dengan menjadi guru agama di perkebunan Tebing Tinggi. Buya Hamka meneruskan karirnya sebagai pengajar di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang dari tahun 1957 sampai 1958. Setelah itu, dia dilantik sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan menjabat sebagai Guru Besar di Universitas Moestopo, Jakarta. Di samping, sebagai pegawai tinggi agama yang dilantik oleh Menteri Agama Republik Indonesia sejak 1951 sampai 1960.

Buya Hamka meletakkan jabatannya setelah Presiden Soekarno memberinya pilihan untuk tetap menjabat sebagai petinggi negara atau melanjutkan aktivitas politiknya di Masyumi. Di bidang keilmuan, Buya Hamka lebih banyak melakukan studi mandiri seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Beliau adalah seorang penulis yang banyak menghasilkan karya, hasil-hasil karya tulisnya baik yang berhubungan dengan sastra dan agama semuanya berjumlah sekitar 79 karya.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya memasukkannya ke madrasah yang ia dirikan di Sumatera, Padang Panjang namanya at-Thawalib yang artinya santri-santri. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.

Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.

Hamka juga rajin membaca dan bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.

Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan dai Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatan tersebut pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan.

Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi orator utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960.

Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjara inilah beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Guru-guru Buya Hamka dan teman seperjuangannya

Dalam salah satu bukunya “Falsafah Hidup” Buya Hamka menyebutkan tentang beberapa nama gurunya yang sangat mempengaruhi jalan hidup dalam agama termasuk dalam menciptakan buah pikiran, buku-buku dan syair-syair.

  • Dr. H.A. Karim Amrullah atau dikenal dengan nama Haji Rasul
  • Syeikh Ibrahim Musa
  • R.M. Surjopranoto
  • Ki Bagus Hadikusumo
  • A.R. Sutan Manshur (mendapat julukan ‘Bintang Barat Muhammadiyah). Pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah sampai 1980. Dan berhasil merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah.
  • H. Fachroedin, wakil ketua P. B Muhammaddiyah
  • K.H. Mas Manshur
  • H.O.S Cokroaminoto yang mengajarinya tentang Peradaban Barat
  • A. Hasan
  • M. Natsir
  • K.H Ahmad Dahlan
  • KH Ibrahim
  • KH Mukhtar Bukhari
  • KH Abdul Mu’thi
  • KH Mas Mansyur

Buku-buku Buya Hamka

Prof. Dr. Hamka adalah seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah koran seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat.

Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam. Selain itu ia memiliki sekitar lebih 115 karya pada bidang sastra, sejarah, tasawuf, dan agama, di antara karya-karya beliau antara lain:

  • Tafsir Al-Azhar, tafsir ini merupakan karya utama dan terbesar Prof. Dr. Hamka, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1984
  • Falsafah Hidup, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1994
    Tasawuf Modern, buku ini ditulis ketika ia berada di Medan pada tahun 1940 M
  • Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1952
  • Mengembalikan Tasawuf ke pangkalnya, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1958 yang berasal dari ceramahnya di PTAN Yogayakarta sebagai guru besar ilmu Tasawuf disana.
  • Tasawuf,Perkembangan dan Pemurniannya, diterbitkan oleh Pustaka Pajimas tahun 1984. Buku ini ditulis untuk mengingatkan umat islam dari praktek tasawuf yang dicampuri dan diselewengkan dari makna kesucian islam.
  • Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad
  • Studi Islam yang terbit tahun 1985
  • Islam dan Demokrasi
  • Islam dan Kebatinan
  • Ekspansi Ideologi
  • Falsafah Ideologi
  • Urat Tunggang Pancasila
  • Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi
  • Muhammadiyah di Minangkabau
  • Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yang menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura
  • Novel Di Bawah Lindungan Kaabah, buku ini menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Setahu kami novel ini di Indonesia telah filmkan sekitar tahun 90-an.
  • Novel Merantau ke Deli, novel ini juga menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura
  • Khatib Ummah
  • Layla Majnun
  • Mengembara di Lembah Nil
  • Di Tepi Sungai Dajlah

Anugerah yang pernah diterima Hamka

Anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958
Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974
Dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia
Baca juga: Tentang Terjemahan Surat Al-Maidah 51

Metodologi Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka

Buya Hamka termasuk dalam kategori mufasir generasi kedua di Indonesia, karena generasi pertama yang masih menggunakan bahasa Melayu, Sunda, Jawa, dan Melayu-Minang, seperti al-Kitab al-Mubin karya K.H. Muhammad Ramli dalam bahasa Sunda (1974) dan kitab Tafsir al-Ibriz oleh K.H. Bisri Mustofa dalam bahasa Jawa (1950). Sementara mufasir generasi kedua umumnya sudah menggunakan huruf Latin dan bahasa Indonesia.

1. Sebab Penamaan Tafsir Al-Azhar

Nama tafsir Al-Azhar diambil dari nama masjidAl-Azhar dimana Buya Hamka sering memberikan pelajaran tafsir seusai shalat subuh, yang mana nama Al-Azhar itu langsung diberikan oleh syekh Mahmud Syaltut, Syeikh (rektor) universitas Al-Azhar di Kairo, seraya berharap semoga masjid Al-Azhar tersebut menjadi Al-Azhar di Indonesia sebagaimana adanya Al-Azhar di Kairo.

Dinamakan Al-Azhar karena serupa dengan nama masjid yang didirikan olehnya di Kebayoran Baru. Nama yang diilhami dari Syekh Mahmud Syalthuth dengan harapan agar benih keilmuan dan pengaruh intelektual tumbuh di Indonesia. Buya Hamka awalnya mengenalkan tafsirnya tersebut melalui kuliah subuh pada jama’ah masjid al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta. Penafsirannya dari Surah al-Kahf, Juz XV. Catatan yang ditulis sejak 1959 tersebut telah dipublikasikan dalam majalah ‘Gema Islam’ yang terbit pertama pada 15 Januari 1962 sebagai pengganti majalah “Panji Masyarakat” yang dibredel oleh Presiden Soekarno tahun 1960.

2. Metode Tafsir Hamka

Menggunakan metode tafsir Tahlili yaitu menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai sisi berdasarkan urutan ayat dalam Al-Quran.
Menggunakan corak tafsir Adab Ijtima’i (sosial kemasyarakatan) yaitu menjelaskan petunjuk ayat Al-Quran yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat dan berupaya menyelesaikan masalah-masalah kehidupan dengan petunjuk Al-Quran. Tafsir Al-Azhar mendialogkan teks dengan realita yang dialami untuk menguatkan ayat, sehingga ayat yang dibahas menjadi hidup dan relevan untuk zaman sekarang.
Tidak terikat oleh fanatisme mazhab dan mentarjih dari berbagai mazhab/konklusi hukum.
Berpegang pada riwayat Al-Quran dan Hadits dalam masalah ghaib dan israiliyat/mubham.
Tafsir modern yang menjadikan Al-Quran sebagai sumber hidayah (ittijah al-hudaai)
Pemikiran yang tertuang di tafsirnya, banyak terpengaruh oleh Gerakan pencerahan keislaman Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Buya Hamka banyak mengutip hadist Nabi Muhammad SAW, perkataan sahabat dan tabiin sehingga, tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka menjadi karya tafsir yang harmonis antara tafsir bil matsur dan bil ma’qul, menggabungkan riwayat dan dirayat.
Berpegang pada riwayat Al-Quran dan Hadits dalam masalah ghaib dan Israiliyat/mubham.
Tafsir al-Quran ini lengkap sampai 30 juz, tidak disusun terlalu tinggi, juga tidak terlalu rendah sesuai keragaman kemampuan pemahaman masyarakat islam yang amat majemuk.
Mendialogkan teks dengan realita yang beliau alami untuk menguatkan keterangan ayat.
Tafsir Al-Azhar disusun tanpa membawakan pertikaian mazhab-mazhab fiqih.
Penulis berusaha tidak ta’ashub kepada suatu faham mazhab tertentu, dan sedaya upaya menguraikan maksud ayat dan memberi kesempatan orang untuk berpikir.
Bukan tafsir ensiklopedis seperti tafsir zaman dahulu dan menitik beratkan Al-Quran sebagai hidayah (ittijah alhudaai)
Pertama menuliskan tafsir dengan menerbitkan tafsirnya di majalah, seperti layaknya Muhammad Abduh.

3. Motivasi Hamka menulis Tafsir Al-Azhar

Hamka melihat mufasir klasik sangat fanatik terhadap mazhab mereka, sekalipun suatu makna lebih dekat kepada suatu mazhab, tetapi tetap digiring kepada suatu mazhab.
Munculnya generasi pemuda muslim Melayu yang ingin belajar Islam lebih mendalam dan haus untuk mengetahui rahasia-rahasia Al-Quran.
Meninggalkan pusakan berharga untuk umat Islam di Indonesia dan menyiapkan kader kader da’i yang profesional.
Hutang budi kepada Al-Azhar Mesir yang memberikannya gelar honoris causa.
Cetakan pertama Tafsir Al-Azhar oleh Penerbit Pembimbing Masa dari juz 1 sampai juz 4, lalu diterbitkan juz 5 sampai juz 30 oleh Pustaka Islam Surabaya. Kemudian, Yayasan Nurul Islam Jakarta menerbitkan juz 5 sampai juz 14.

4. Sumber Tafsir

  • Al-Quran
  • Hadits
  • Aqwal Sahabat, Tabi’in.
  • Tafsir Ma’tsur.
  • Tafsir bir Ra’yi Jaiz.
  • Tafsir bi Laun Al-Adabi Al-Ijtima’i.

5. Sistematika penafsiran Al-Azhar

  • Ayat
  • Terjemahan
  • Munasabah
  • Tafsir ayat/kosa kata
  • Sebab turunnya ayat dan
  • Kandungan ayat (kesimpulan).

6. Awal Penulisan

Tafsir Al-Azhar mulai ditulis Hamka sejak menjelang tahun 1960, Tafsir ini diselesaikannya lengkap 30 juz ketika berada dalam tahanan pemerintahan rezim Sukarno pada tanggal 12 Ramadhan 1383 atau 27 Januari 1964. Tahanan penjara terhadap pengarang dengan tuduhan melakukan kegiatan subversi (pro-malaysia) terhadap pemerintah tanpa pernah dibuktikan secara hukum, memberikan hikmah amat besar dengan terselesaikannya karya besar tesebut.

Sesuatu yang menjadi penghibur beliau ialah kunjungan dari sabat dan jamah-jamah beliau baik dari Aceh, Sumatra Timur, Palembang, Makasar, Banjarmasin, Jawa Timur, NTB, dll. Salah seorang utusan yaitu ulama Mesir yang merupakan dosen di sana menyampaikan bahwa ulama-ulama Al-Azhar Mesir mendoakan moga-moga beliau lekas terlepas dari bencana itu.

Ulama-ulama Mesir itu bila berjumpa dengan pelajar-pelajar Indonesia selalu menanyakan nasib beliau, dan mendoakan agar iman beliau bertambah. Bahkan beratus-ratus teman beliau ketika mengerjakan haji mendoakan beliau di Multazammoga-moga keadilan Allah berlaku, kejujuran menang dan kecurangan tumbang.

Ketika Buya Hamka ditangkap penguasa Orde Lama dengan tuduhan berkhianat pada negara dan dipenjara selama 2 tahun 7 bulan; ia pun memanfaatkan waktunya untuk menulis dan menyempurnakan tafsirnya. Ia menyatakan rasa syukur kepada para ulama, para utusan dari Aceh, Sumatera Timur, Palembang, ulama dari Mesir, ulama di Al-Azhar, Syekh Muhammad Al-Ghazali, Syekh Ahmad Sharbasi, dari Makassar, Banjarmasin, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan lain-lain.

Pada 1967, Tafsir Al-Azhar pertama kali diterbitkan. Tafsir tersebut menjelaskan latar hidup penafsirnya secara lugas. Ia menggambarkan watak masyarakat dan sosio-budaya yang terjadi saat itu. Selama 20 tahun, tulisannya mampu merekam kehidupan dan sejarah sosio-politik umat yang getir dan menampakkan cita-citanya untuk mengangkat pentingnya dakwah di Nusantara.

Tafsir Al-Azhar ditulis berasaskan pandangan dan kerangka manhaj yang jelas dengan merujuk pada kaedah bahasa Arab, tafsiran salaf, Asbab an-Nuzul, Nasikh-Mansukh, ilmu hadis, ilmu fiqih dan sosial-budaya masyarakat Indonesia. Dari sini, penafsiran Buya Hamka di samping menggunakan metode tahlili secara umum juga melakukan perbandingan-perbandingan (muqaran) terhadap realitas sosialnya.

7. Perkataan Buya Hamka tentang Tafsir al-Azhar

“Aku mengharap, jika aku mendapat aniaya oleh suatu kekuasaan orang zalim, hanya semata-mata karena mereka suatu waktu berkuasa, pasti datang zamannya, aku dan mereka sama-sama tidak ada lagi di dunia ini. Maka semoga dengan meninggalkan tafsir ini adayang diingat-ingat orang dari diriku sebagai suatu hasil khidmat untuk Tuhan dan ummat, yang dapat aku kerjakan di dalam saat-saat aku teraniaya.”

8. Tuduhan Pluralisme

Ada sebagian orang liberal yang menggunakan tafsir al-Azhar untuk menjustifikasi pendapat Pluralisme mereka, pada dasarnya mereka salah representasi atau salah memahami tafsir karena tafsir Buya Hamka tidaklah bermaksud kepada Pluralisme.

Manipulasi ini juga dilancarkan kepada Syaikh Rasyid Ridha, seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rahmat dalam bukunya: Islam dan Pluralisme: Akhlaq al-Quran menyikapi perbedaan, pada buku tersebut ia mengutip pendapat Rasyid Ridha yang dikatakan bahwa tidak ada masalah kalau tidak disyaratkan iman kepada Nabi Muhammad saw.

Ada sejumlah penulis yang keliru dalam mengungkapkan pemikiran Hamka, bahkan ada yang sengaja memanipulasi pendapat Hamka, sehingga seolah olah Hamka adalah seorang pendukung paham Pluralisme Agama.

Contohnya adalah buku yang diterbitkan Universitas Paramadina berjudul “Bayang-Bayang Fanatisme: Esei-esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid” (2007) yang diberi pengantart Dawam Rahardjo dan Yudi Latif.

Pada artikel di buku tersebut yang berjudul Islam dan Pluralisme di Indonesia: Pandangan Sejarah yang ditulis oleh Ayang Nutriza NWAY mengutip pendapat Hamka secara serampangan dan menuliskan kesimpulan berikut:

“Buya Hamka dengan sangat mengagumkan menafsirkan ayat ini. Ia menulis “Kesan pertama yang dibawa oleh ayat ini ialah perdamaian dan hidup berdampingan secara damain di antara pemeluk sekalian agama dan dunia ini [..] Ayat ini sudah jelas menganjurkan persatuan agama, janga agama dipertahankan sebagai golongan, melainkan hendaklah selalu menyiapkan jiwa mencari dengan otak dingin, manakah dia hakikat kebenaran.

Iman kepada Allah dan Hari Akhirat, diikuti amal shaleh. Kita tidak akan bertemu suatu ayat tabg begini dengan penuh toleransi dan lapang dada, hanyalah dalam Al-Quran. Suatu hal yang amat perlu dalam dunia modern”. Lebih jauh Buya Hamka mengutip hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim dari Salman Al-Farisi yang bertanya kepada Rasulullah Saw tentang agama mana yang paling benar dari semua agama yang pernah dimasuki olehnya: Majusi, Nasrani dan Islam. Rasululah Saw menjawab dengan Qs. 2:62 tersebut”. (hal, 306-307)

Referensi:

  • Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1984
  • Buya Hamka, Falsafah Hidup, diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada tahun 1994
  • Buya Hamka, Tasawuf,Perkembangan dan Pemurniannya, diterbitkan oleh Pustaka Pajimas tahun 1984, cet.XI
  • Prof.Dr.Musthafa Hilmi, Qawaid al-Manhaj as-Salafi fi al-Fikr al-Islami, (Kairo, Dar Ibnu al-Jauzi, 2005), cet III.
  • Muhammad Muhibudiien Abu Zaid, Khashaish Ahlu al-Hadits wa as-Sunnah”, (Mesir, Dar Ibnu al-Jauzi, 2005), cet. I
  • Makalah seminar sehari tentang Buya Hamka di Insits, 9 Juni 2017, link catatan seminar https://ahmadbinhanbal.com/sehari-bersama-buya-hamka/

Radio Al-Hidayah BDS 2

AL-HIDAYAH RADIO
https://www.qurantranslations.net/quran/pdf/id_translation_of_the_meaning_of_the_holy_quran_in_indonesian.pdf