Memadamkan Lampu Untuk Menjamu Tamu
Pada suatu hari ada seseorang mendatangi Rasulullah. Pada wajahnya terlihat jelas bekas-bekas
perjalanan jauh. Kemudian orang tersebut mengutarakan kehendaknya seraya berkata, “Wahai
Rasulullah aku telah tertimpa kesusahan. Aku sangat lapar.”
Dengan segera Rasulullah menanyakan kepada istri beliau, “Adakah makanan yang dapat dimakan
orang ini? Namun istri beliau berkata, “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, saya
hanya memiliki air minum saja. Kemudian beliau mendatangi istri yang lain namun mendapat jawaban
yang sama. Mereka tidak ada yang mempunyai makanan pada waktu selain air minum.
Kemudian Rasulullah menanyakan kepada para Shahabatnya, “Apakah ada salah seorang di antara
kalian yang mau menjamu orang ini sebagai tamu? Maka Abu Thalhah Al Anshari berdiri seraya
berkata, “Aku wahai Rasulullah.”
Abu Thalhah adalah seorang shahabat dari kalangan kaum Anshar. Nama aslinya adalah Zaid bin Sahl
bin Al Aswad bin Haram An Najari Al Anshari. Abu Thalhah adalah suami Ummu Sulaim, Ibu dari Anas
bin Malik.
Selanjutnya Abu Thalhah membawa tamunya ke rumah. Ia menemui istrinya dan menanyakan adakah
makanan yang dapat disuguhkan untuk tamunya. Istrinya menjawab bahwa tidak ada sama sekali
kecuali cadangan makan malam untuk anak-anaknya.
Kemudian Abu Thalhah menyuruh istrinya, “Wahai istriku, bila makan malam tiba, maka tidurkanlah
anak-anak dan sediakan makanan untuk jamuan tamu kita dan jangan lupa matikan lampu agar ia
tidak tahu kalau kita tidak makan.”
Istri Abu Thalhah mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya. Dalam keadaan gelap, keduanya
duduk bersama menemani tamu sambil berpura-pura makan padahal mereka tidak memakan apa-
apa. Maka tamu tersebut makan hingga kenyang sedang Abu Thalhah dan keluarganya bermalam
dalam keadaan lapar demi memuliakan tamunya.
Allah memberitahukan apa yang terjadi kepada Nabi dan Nabi merasa sangat gembira. Kemudian
beliau menyampaikan kabar gembira ini kepada Abu Thalhah, bahwa Allah telah meridhainya dan
keluarganya serta meridhai apa yang telah mereka perbuat untuk tamunya.
Subhanallah!! Sungguh Abu Thalhah telah membuktikan kesempurnaan imannya. Beliau merelakan
diri dan keluarganya bermalam dalam keadaan lapar demi menjamu tamunya. Karena beliau mengerti
betul keutamaan menghormati tamu. Menghormati tamu merupakan tanda kesempurnaan iman dan
kebaikan Islam seseorang. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah telah bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits di atas Rasulullah menjeskan kepada kita, bahwa barangsiapa yang ingin berpegang teguh dengan syariat Islam dan menempuh jalan orang-orang mukmin pilihan hendaklah ia memuliakan tamunya, berbuat baik kepada mereka. Karena yang demikian merupakan bukti kesempurnaan iman dan kebaikan keislamannya serta cerminan akhlak yang mulia.
Sedang beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika menerima tamu adalah berwajah cerah kepada
tamunya, berbicara dengan baik dan segera menghidangkan makanan dan minuman yang ia miliki.
Dalam waktu sehari-semalam ia dianjurkan untuk memberi makan tambahan kepada tamu melebihi
makanan yang ia berikan kepada keluarganya. Selanjutnya dua hari berikutnya ia menjamu tamu
dengan makanan yang sama yang diberikan kepada keluarganya, selama tidak memberatkannya.
Diriwayatkan Abu Syuraih Al Khuza’i, Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya dan
(memuliakannya dengan) memberi hadiah (hidangan istimewa) sehari semalam. Dan perjamuan
tamu adalah tiga hari dan selebihnya adalah shadagah”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Maka jangan abaikan tamu yang datang ke rumah kita. Mari kita muliakan mereka hingga kita termasuk
orang-orang yang sempurna imannya. Karena demikianlah Rasulullah memerintahkan dan para salaf
mengamalkan hingga sempurnalah iman dan baik keislaman mereka