Meminjamkan Motor dengan Syarat
Meminjamkan Sepeda Motor dengan Syarat Diisi Bensin
Pertanyaan:
Ada yang mengatakan bahwa jika ada teman yang meminjam motor lalu kita mempersyaratkan agar nanti diisi bensinnya, itu adalah riba. Karena adanya tambahan dalam pinjam-meminjam. Apakah benar demikian?
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursalin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.
Kasus yang ditanyakan tersebut bukanlah riba sama sekali. Karena yang terjadi di sini adalah akad ariyah (pinjam-meminjam) bukan qardh (hutang-piutang).
Akad al ‘ariyah atau al i’arah adalah pembolehan untuk memanfaatkan suatu harta dengan tetap mempertahankan keutuhan benda tersebut (Al-Fiqhul Muyassar, hal. 259). Dalam bahasa kita, ‘ariyah adalah meminjam barang. Contohnya, Fulan meminjam mobil milik Alan. Maka di sini Alan membolehkan Fulan untuk memanfaatkan mobilnya, dan mobilnya tetap dipertahankan tidak boleh dijual atau diganti dengan mobil yang lain ketika dikembalikan.
Pinjam meminjam adalah perkara yang disyariatkan dalam Islam. Karena ini termasuk bentuk tolong-menolong dalam kebaikan dan menghilangkan kesulitan orang lain. Allah ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.” (QS. al-Maidah: 2)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
من يسَّرَ على معسرٍ يسَّرَ اللَّهُ عليهِ في الدُّنيا والآخرةِ
“Barang siapa memudahkan kesulitan orang lain, Allah akan mudahkan ia di hari Kiamat.” (HR. Muslim no. 2699)
Ini menunjukkan disyariatkannya pinjam-meminjam.
Memang ada problematika bahasa di sini. Dalam bahasa Indonesia, berhutang juga disebut dengan meminjam. Demikian juga meminjam sepeda motor, disebut juga meminjam. Padahal syari’at, dua hal tersebut berbeda. Hutang-piutang itu disebut qardhun, sedangkan meminjam barang itu disebut ‘ariyatun. Ini dua hal yang berbeda.
Perbedaan antara qardhun dan ‘ariyatun adalah dalam qardhun (hutang-piutang) dzat dari harta itu diserahkan total kepada peminjam, dan terjadi perpindahan kepemilikan. Orang yang berhutang uang 1 juta rupiah, maka ia mendapatkan kuasa atas uang 1 juta rupiah tersebut setelah didapatkan. Boleh dibelanjakan, boleh disedekahkan, atau bentuk muamalah lain yang dia inginkan. Karena uang itu menjadi miliknya. Hanya saja ia memiliki tanggungan untuk mengembalikan sejumlah uang kepada peminjam.
Sedangkan yang ada dalam ‘ariyatun adalah istibahul manfa’ah, pembolehan untuk memanfaatkan harta yang dipinjam. Seseorang meminjamkan sepeda motor kepada temannya, artinya ia membolehkan temannya untuk memanfaatkan sepeda motor tersebut. Namun sepeda motor itu tidak berubah kepemilikannya, tidak boleh dijual, atau digadaikan oleh peminjam.
Dalam qardhun, harta yang dikembalikan tidak harus sama persis. Orang yang meminjam uang 100 ribu rupiah dengan nomor serial “A5377RE3000” misalnya. Ketika ia membayar hutang, tidak harus dengan uang 100 ribu rupiah dengan serial yang sama.
Adapun dalam ariyatun, barang yang dikembalikan adalah barang yang sama ketika meminjam. Karena memang tidak ada perpindahan kepemilikan, hanya membolehkan untuk memanfaatkan.
Sedangkan kaidah yang disepakati ulama:
كل قرض جَرَّ نفعاً فهو ربا
“Setiap qardhun (hutang-piutang) yang mendatangkan manfaat (bagi orang yang menghutangi) maka itu adalah riba.”
Kaidah ini bicara tentang qardhun, sehingga ini tidak berlaku untuk ‘ariyatun.
Kemudian para ulama menyebutkan, boleh melakukan ‘ariyatun (meminjamkan barang) dengan disertai syarat, selama disepakati kedua pihak. Sebagian ulama mengatakan, akadnya berubah menjadi ijarah (sewa), yang juga boleh hukumnya. Dalam Kasyful Qana’ (12/497), al-Buhuti menjelaskan:
وأن شرط المعير لها أي الإعارة عوضاً معلوماً في عارية مؤقتة بزمن معلوم صح ذلك وتصير إجارة تغليباً للمعنى كالهبة إذا شرط فيها ثواب معلوم كانت بيعاً،
“Jika orang yang meminjamkan barang mempersyaratkan peminjam dengan suatu timbal balik tertentu, dan pinjamannya ditentukan waktunya yang tertentu, maka ini sah dan menjadi akad ijarah karena sudah tercakup dalam makna ijarah. Demikian juga hibah, jika dipersyaratkan dengan suatu timbal balik tertentu, maka ini menjadi jual beli.”
Kesimpulannya, meminjamkan barang dengan disertai syarat hukumnya boleh. Seperti meminjamkan motor dengan syarat harus diisi bensinnya, ini boleh saja selama telah disetujui oleh kedua belah pihak. Adapun yang tidak boleh adanya tambahan adalah dalam hutang-piutang. Ibnu Munzir rahimahullah mengatakan:
أَجْمَعَ كُلُّ مِنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى إبْطَالِ الْقِرَاضِ إذَا شَرَطَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا لِنَفْسِهِ دَرَاهِمَ مَعْلُومَةً
“Para ulama yang pendapatnya dianggap telah bersepakat tentang batilnya akad qardh (hutang) jika dipersyaratkan salah satu atau kedua pelakunya untuk menambahkan sejumlah dirham tertentu.” (Al-Mughni, 5/28)
Wallahu a’lam.
***
Dijawab oleh Ust. Yulian Purnama (Konsultasi Syariah)