Mengeraskan Suara ketika Membaca Al-Qur’an yang Terlarang
Menelaah tausiyah ba’da subuh oleh ustadz Mursyad.
Al-hidayah.id Di antara perbuatan yang mengganggu orang-orang yang sedang shalat (sunnah) sebelum iqamat adalah adanya jamaah yang membaca Al-Qur’an dengan suara keras. Perbuatan semacam ini akan mengganggu konsentrasi atau kekhusyu’an orang-orang yang sedang shalat atau yang sedang melakukan ibadah yang lainnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang sebagian jama’ah shalat untuk saling mengeraskan suara dalam membaca al-Qur’an atas sebagian yang lain. Imam Malik dan Imam Ahmad telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari al-Bayadhi radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui orang-orang yang sedang mengerjakan shalat, sementara suara mereka terdengar keras membaca al-Qur’an, maka beliau bersabda:
إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ. “
Sesungguhnya orang yang shalat itu bermunajat kepada Rabb-nya, karenanya hendaklah dia memperhatikan dengan apa dia bermunajat. Dan janganlah sebagian kalian mengeraskan suara atas sebagian yang lain dalam membaca al-Quran.” [1]
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf di masjid lalu beliau mendengar mereka mengeraskan suara bacaan al-Qur’an, lalu beliau membuka tabir pemisah seraya bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya masing-masing dari kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian mengangkat suara atas yang lainnya dalam membaca al-Qur’an,”[2]
Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Jika orang yang shalat membaca bacaan al-Qur’an tidak boleh mengeraskan suaranya agar tidak salah dan tidak mengganggu orang di sampingnya. Dengan demikian, berbicara di masjid yang mengganggu jama’ah shalat maka jelas lebih tegas, lebih tidak diperbolehkan, dan lebih haram .” [3]
Catatan :
[1]. Shahih: Diriwayatkan oleh Malik: 3- kitab ash-Shalaah, 6- bab al-‘Amal fil Qira-ah. Dan Ahmad (XXXI/363), no. 19022), terbitan ar-Risaalah. Al-Baihaqi di dalam kitab al-Kubraa (III/ 11) di dalam kitab ash-Shalaah, bab man lam yarfa’ shautahu bil qiraa’ah syadiidan idzaa kaana yataadzaa bihi man haulahu. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu ‘Abdil Barr di dalam kitab at-Tamhiid (II/92/Fat-hul Maalik) juga al-Albani di dalam ta’liq (komentar) terhadap kitab Ishlaahul Masaajid (74), serta al-Arnauth di dalam kitab Tahqiiq al-Musnad (no. 19022).
[2]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1332) dan dinilai shahih oleh Ibnu ‘Abdil Barr di dalam kitab at-Tamhiid (II/92/ Fat-hul Maalik), serta al-Albani di dalam kitab Shahiih Sunan Abu Dawud (no. 1183).
[3]. Fat-hul Maalik bitabwiibit Tamhiid ‘alaa Muwaththa’ Malik (II/92)